
Upacara Tawur Kasanga Saka 1946 Umat Hindu: Mempererat Toleransi dan Budaya
Pada tanggal 10 Maret 2024, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan dimana Sekolah Kristen Baithani Tosari berada, menjadi saksi dari sebuah upacara sakral yang kaya akan makna dan nilai-nilai kebersamaan. Upacara ini, yang dikenal sebagai Tawur Kasanga Saka 1946, tidak hanya menjadi perayaan keagamaan bagi umat Hindu tetapi juga menjadi panggung bagi toleransi dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger.
Sebelumnya, umat Hindu Suku Tengger di Desa Tosari melaksanakan Upacara Melasti, sebuah ritual suci yang bertujuan untuk membersihkan diri dan menjernihkan pikiran sebelum memasuki periode perayaan yang lebih besar. Setelah itu, dilakukanlah ritual Buta Yadnya (Bhuta Yajna), sebuah rangkaian upacara untuk menghalau kehadiran buta kala yang merupakan manifestasi unsur-unsur negatif dalam kehidupan manusia. Buta Yadnya tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga menjadi panggung bagi semaraknya festival tahunan yang menjadi daya tarik pariwisata.

Salah satu ciri khas dari Buta Yadnya adalah tradisi pawai ogoh-ogoh yang memukau. Ogoh-ogoh adalah patung raksasa yang melambangkan kejahatan atau kegelapan yang harus diusir dari kehidupan manusia. Festival ogoh-ogoh tidak hanya menjadi perayaan bagi umat Hindu tetapi juga menjadi momen di mana masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan budaya berkumpul untuk merayakan kekayaan budaya yang dimiliki.

Dalam semangat toleransi dan kebersamaan, pengamanan upacara selain dari PECALANG yaitu tim pengamanan dari Umat Hindu juga melibatkan REPLIKA (Relawan Peduli Desa dan Kota) dari Umat Kristen dan BANSER (Barisan Serbaguna) dari Umat Muslim dan tentunya juga melibatkan pihak Kepolisisan dan TNI. Ini menunjukkan betapa pentingnya kerjasama antar umat beragama dalam menjaga keamanan dan keharmonisan di tengah-tengah perayaan keagamaan.
Selain itu, pihak Sekolah Kristen Baithani Tosari juga turut serta dalam perayaan ini dengan membuka stand jualan makanan dan minuman. Langkah ini tidak hanya sebagai bentuk dukungan terhadap kegiatan upacara tetapi juga sebagai wujud konkrit dari semangat gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat.
Keesokan harinya, pada saat hari raya Nyepi Saka 1946, masyarakat di Desa Tosari menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi dengan menghormati kepercayaan umat Hindu. Mereka tidak menyalakan listrik dan menghindari bunyi-bunyian yang dapat mengganggu khidmatnya kegiatan Nyepi. Tindakan ini bukan hanya sebagai penghargaan terhadap keagamaan tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang dianut oleh sesama masyarakat.
Upacara Tawur Kasanga Saka 1946 di Desa Tosari bukan hanya sebuah perayaan keagamaan tetapi juga sebuah perayaan kebersamaan, toleransi, dan kekayaan budaya. Melalui kesempatan ini, masyarakat mempererat hubungan antar umat beragama dan menjaga keharmonisan di tengah-tengah perbedaan. Ini adalah contoh nyata bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan yang mempersatukan sebuah komunitas. (PYC)